Minggu, 03 Januari 2010

my final paper for logika dan penulisan ilmiah


Abstrak
Reinforcement dan punishment sudah bukan hal yang asing lagi di lingkungan sekolah karena keduanya dapat meningkatkan motivasi belajar dan mengkondisikan tingkah laku yang baik pada siswa. Penulis memiliki asumsi bahwa reinforcement lebih baik digunakan daripada punishment. Walaupun sama-sama memiliki efek yang negatif, namun efek negatif yang dihasilkan punishment jauh lebih buruk. Reinforcement dapat menurunkan motivasi siswa untuk mengerjakan tugas menantang. Di lain pihak, punishment dapat membuat siswa menghindari hal-hal yang berhubungan dengan hukuman yang ia terima, menjadi kebal terhadap hukuman, membolos dan bahkan drop out, dan belajar menyelesaikan masalah dengan menghukum. Jadi dalam meningkatkan motivasi belajar dan mengkondisikan tingkah laku yang baik pada siswa, reinforcement lebih baik digunakan daripada punishment.


Reinforcement dan Punishment di Sekolah: Mana yang Lebih Baik?
Pagi hari itu Dira yang duduk di kelas empat sekolah dasar pergi ke sekolah dengan semangat. Hari itu, ulangan matematika Dira yang ia kerjakan kemarin akan dibagikan, dan ia yakin akan mendapatkan nilai yang baik. Dira duduk manis di mejanya menunggu hasil ulangannya dibagikan. Namun, namanya tidak kunjung dipanggil, padahal semua temannya telah mendapatkan kertas ulangan mereka masing-masing. Dira pun maju ke depan dan bertanya kepada gurunya. Masih ada satu kertas ulangan yang tersisa di meja gurunya, Dira yakin kertas ulangan itu adalah kertasnya. Angka 85 yang ditulis dengan pena merah tertera di atas kertas ulangan itu, namun tidak ada nama di kertas itu. Dira pun tersadar, ternyata ia lupa menuliskan namanya. Bukannya memuji Dira atas nilainya yang baik, guru Dira malah mengurangi nilai Dira menjadi tujuh puluh karena alasan Dira tidak teliti. Dira yang tadinya bersemangat pun jadi merasa sedih. Ia merasa percuma telah belajar dengan giat dan mendapatkan nilai yang baik. Seandainya guru Dira memaafkan Dira atas kesalahan kecilnya dan malah memuji nilainya yang baik, akankah hasilnya berbeda?
            Pengurangan nilai Dira oleh gurunya merupakan punishment, sedangkan apabila gurunya memuji Dira atas nilai yang baik pujian itu merupakan reinforcement. Di sekolah kita sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Namun, apakah efek dari masing-masing perlakuan itu (reinforcement dan punishment) terhadap motivasi belajar dan pengkondisian tingkah laku baik pada siswa?Mempertimbangkan efek dari reinforcement dan punishment,  perlakuan manakah yang lebih baik untuk digunakan? Penulis berasumsi bahwa reinforcement lebih baik untuk digunakan dalam meningkatkan motivasi belajar dan mengkondisikan tingkah laku yang baik pada siswa dibandingkan dengan punishment.
Sebelum penulis menjabarkan efek-efek dari reinforcement dan punishment ada baiknya anda mengetahui terlebih dahulu definisi dari reinforcement dan punishment besarta jenis-jenisnya. Reinforcement adalah penggunaan konsekuensi tertentu terhadap suatu tingkah laku untuk menguatkan atau meningkatkan tingkah laku tersebut (Woolfolk, 1993). Terdapat dua jenis reinforcement yaitu positive reinforcement dan negative reinforcement. Positive reinforcement dilakukan dengan memberikan sesuatu yang menyenangkan seperti pujian atau hadiah saat seseorang melakukan tingkah laku tertentu. Contohnya, apabila guru Dira memuji Dira karena nilainya yang bagus, pujian guru Dira merupakan positive reinforcement bagi Dira. Pujian yang diberikan guru Dira akan “menguatkan” Dira untuk belajar matematika dengan lebih giat. Sedangkan negative reinforcement adalah penarikan hal yang tidak menyenangkan bagi seseorang saat orang itu melakukan tingkah laku tertentu. Misalnya guru Seno berjanji akan meniadakan pekerjaan rumah kimia apabila Seno bisa menyelesaikan sepuluh soal kimia dengan nilai sempurna.
Menurut Azrin dan Holz dalam Axelrod (1983) punishment adalah proses dimana konsekuensi dari sebuah tingkah laku akan menurunkan presentase tingkah laku tersebut di masa mendatang. Seperti reinfrocement, punishment juga ada dua macam, yaitu presentation punishment dan removal punishment (Woolfok, 1993). Presentation punishment adalah pemberian hal yang tidak menyenangkan bagi si penerima punishment. Misalnya seperti kasus Dira di paragraf satu yang dikurangi nilainya karena tidak teliti. Removal punishment adalah penarikan hal-hal yang disukai seseorang saat bertingkah laku tertentu. Misalnya karena terdapat lima angka merah di rapot Sarah, maka ibunya menyita telepon genggam Sarah.
Saat duduk di sekolah dasar di Australia, penulis memiliki pengalaman tentang efek reinforcement terhadap motivasi penulis. Terdapat beberapa jenis positive reinforcement yang diberikan sekolah pada siswa-siswinya antara lain; achievement sticker, pujian, dan lotre mingguan. Sticker dan pujian merupakan reinforcement yang paling sedarhana diantara reinforcement lainnya. Guru menempelkan sticker bertuliskan good job, excellent, atau very good pada pekerjaan siswa yang dikerjakan dengan baik. Secara tidak langsung sticker ini adalah bentuk pujian yang diberikan oleh guru kepada siswanya. Guru juga tidak segan-segan untuk memberikan senyuman dan pujian secara langsung pada siswanya yang bekerja dengan baik. Pujian yang diberikan oleh guru membuat penulis merasa termotivasi dan bersemangat dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah. Pengalaman penulis ini pararel dengan studi yang dilakukan oleh Suherland, Wehby, dan Copeland dalam Stipek (2002) yang mengatakan bahwa apabila diberikan dengan benar, pujian dapat memberikan efek positif dalam meningkatkan motivasi siswa.
Lotre mingguan yang diterapkan dalam sistem sekolah di Australia juga merupakan positive reinforcement. Saat siswa tampak berusaha dengan keras mengerjakan tugasnya, melakukan hal yang baik seperti mengajarkan teman yang kurang mengerti penjelasan dari guru, atau memiliki perkembangan yang baik dalam belajar, guru akan menuliskan namanya di secarik kertas, menggulung kertasnya, dan memasukkannya ke dalam sebuah kotak. Di akhir minggu guru akan mengundi tiga kertas, dan siswa yang namanya tertera di kertas yang terundi akan diberikan reward (hadiah). Guru menyiapkan satu boks penuh reward  kecil seperti alat tulis, gelas kecil, mainan-mainan kecil, dan sebagainya, untuk dipilih oleh siswa yang menang dalam lotere mingguan.
Walaupun tidak sesering positive reinforcement, guru juga terkadang memberikan negative reinforcement. Salah satu yang penulis ingat adalah saat itu guru menjanjikan akan meniadakan pekerjaan rumah apabila para siswa dapat mengerjakan tugas hari itu dengan baik. Karena tidak menyukai pekerjaan rumah, sudah bisa ditebak bahwa para siswa langsung mengerjakan tugas itu dengan sebaik-baiknya, dan ternyata hasilnya tugas tersebut dapat selesai sesuai harapan guru. Para siswa pun pulang tanpa membawa pekerjaan rumah.
Tampak menyenangkan bukan? Tidak heran jika reinforcement mampu memotivasi kebanyakan siswa di Maroubra Junction Public School, sekolah penulis di Australia, dalam belajar, membuat tugas mereka sebaik mungkin, serta memperlihatkan kelakuan baik di sekolah. Hal ini terlihat dari persaingan sehat di kelas. Kebanyakan siswa bekerja dengan sebaik-baiknya. Karena bekerja dengan sebaik-baiknya, maka mereka menjadi anak-anak yang aktif dan nilai mereka pun baik. Para siswa pergi ke sekolah dengan penuh motivasi sehingga mereka pun menikmati proses belajar.
Kontroversi yang sering muncul berkaitan dengan pemberian reinforcement adalah banyak guru dan orang dewasa yang berpendapat bahwa memberikan reinforcement sama saja dengan ‘menyogok’ siswa untuk belajar. Perlu digarisbawahi, reinforcement berbeda dengan ‘menyogok’. Walaupun tujuannya sama-sama untuk menguatkan tingkah laku tertentu, namun definisi menyogok (bribery) menurut Webster dalam Axelrod (1983) adalah memberikan atau menjanjikan apapun untuk membujuk seseorang agar berbuat jahat atau ilegal. Sedangkan reinforcement yang digunakan di sekolah bertujuan untuk menguatkan tingakah laku yang baik dan menaikkan motivasi siswa.
Masih terkait dengan reinforcement, Maslow, dalam King, Viney, dan Woody (2009)  mengatakan bahwa manusia memiliki lima tingkatan kebutuhan. Salah satu kebutuhan manusia pada tingakatan nomor empat, yaitu esteem needs atau kebutuhan akan harga diri dapat diperoleh dari apresiasi dan kepercayaan diri. Apresiasi merupakan salah satu bentuk dari positive reinforcement. Positive reinforcement seperti apresiasi dan reward juga dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa. Dengan terpenuhinya kebutuhan siswa akan harga diri yang dapat ia peroleh dari positive reinforcement, siswa akan memiliki kebutuhan lain yaitu kebutuhan di tingkat nomor lima, self actualization. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini memacu siswa untuk meraih prestasi di bidang tertentu dan memotivasi siswa.
Walaupun begitu reinforcement juga memiliki kelemahan. Kelemahan dari reinforcement ini tergambar dari sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Tribble dan Hall dalam Axelrod (1983). John adalah seorang siswa yang tidak pernah menyelesaikan lebih dari 25 persen soal matematika yang diberikan setiap hari kepadanya. Tribble berjanji pada John bahwa bila John mampu menyelesaikan semua soal matematikanya dalam waktu dua puluh menit maka seluruh kelas akan pergi ke luar kelas untuk bermain dan John dapat menjadi pemimpin permainan. Selama sebelas hari John dapat menyelesaikan seluruh soal matematikanya setiap hari kecuali satu hari. Setelah sebelas hari yang sukses itu, Tribble tidak lagi menerapkan reinforcement bermain di luar kelas. Hasilnya, selama lima hari John hanya menyelesaikan rata-rata 21 persen soal matematikanya. Dari eksperimen ini dapat dilihat bahwa John dapat menyelesaikan soal matematikanya hanya saat diberikan reinforcement. Kelemahan seperti ini pararel dengan pernyataan Kazdin dalam Axelrod (1983) dan Stipek (2002) yang menyatakan efek dari reinforcement tidak tahan lama. Artinya, saat reinforcer (hal-hal yang dapat menguatkan perilaku, seperti dalam kasus John bermain di luar kelas) dihilangkan maka tingkah laku pun hilang.
Walaupun reinforcement memegang peranan yang penting dalam memotivasi (Pintrich & Schunk, 1996), namun bila digunakan secara berlebihan reinforcement, khususnya yang berbentuk hadiah, dapat menurunkan keinginan siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang lebih menantang (Harter dalam Stipek, 2002). Hal ini sebenarnya tidak mengherankan. Bayangkan anda dijanjikan akan diberikan mainan baru apabila anda dapat menyelesaikan dua puluh dari lima puluh soal matematika yang dapat anda pilih sendiri dengan benar. Kira-kira, apakah anda akan memilih soal yang sulit atau soal yang mudah? Sudah tentu anda memilih soal yang mudah. Oleh karena itu reinforcement dapat menurunkan keinginan siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang menantang.
Terkadang saat suasana kelas sudah sulit dikendalikan atau murid terlalu malas dan tidak punya motivasi, guru akan memberikan suatu alternatif yaitu punishment. Menurut Stipek (2002), punishment memang dapat meningkatkan motivasi siswa. Hal ini terjadi karena siswa takut dipermalukan apabila ia dihukum. Penulis juga memiliki pengalaman yang berkaitan dengan punishment dan motivasi. Saat duduk di kelas enam sekolah dasar kemampuan penulis dalam matematika sangat rendah. Penulis selalu mendapatkan nilai di bawah lima puluh dalam matematika. Guru matematika penulis memiliki sifat yang keras, beliau tidak segan-segan mempermalukan siswa-siswinya yang nilai matematikanya kurang memuaskan dengan cara menghina mereka dengan kata-kata seperti “bodoh!” dan “memalukan!”. Hukuman yang berbentuk hinaan ini membuat penulis malu dan sedih, namun penulis menjadi termotivasi untuk mendapatkan nilai yang baik. Akhirnya penulis beajar dengan sangat keras dan mampu mencapai nilai yang jauh lebih baik.
Seperti yang penulis alami, walaupun mempengaruhi motivasi penulis secara langsung, namun hukuman menimbulkan efek samping yang negatif, dalam kasus penulis yaitu kecemasan dan pengeluaran emosi negatif seperti menangis. Efek samping negatif apa saja yang dapat ditimbulkan punishment? Woolfolk (1993) menyatakan bahwa semua orang cenderung menghindari situasi yang tidak mengenakkan. Oleh karena itu siswa bisa menjadi takut atau bahkan membenci guru, mata pelajaran, dan kejadian yang menghukumnya, terlebih lagi bila siswa tersebut hanya diberikan sedikit reinforcement pada situasi tersebut untuk mengimbangi hukuman yang ia terima. Saat terlalu banyak diberikan hukuman, siswa bahkan dapat merasa kebal terhadap hukuman sehingga hukuman tidak lagi efektif untuk diterapkan. Efek lain diungkapkan oleh Jenson, Sloane, dan Young; Kaplan; serta Martin dan Pear dalam Woolfolk. Menurut mereka saat hukuman yang diberikan untuk suatu kegagalan terlalu keras, siswa akan belajar untuk berbohong, menangis, atau berbuat curang untuk menghindari kegagalan. Selain itu apabila konsekuensi yang diterapkan di sekolah terlalu tidak menyenangkan, siswa bisa membolos atau bahkan drop out. Stipek (2002) membahas efek punishment pada tingkat keaktifan siswa di kelas. Menurutnya, banyak siswa yang tidak berani mengungkapkan pendapatnya di kelas karena mereka takut dihukum dan dipermalukan. Skinner dalam Pressley dan McCormick (2007) menambahkan, guru yang memberikan hukuman mengajarkan siswa untuk menggunakan hukuman dalam menyelesaikan masalah. 
Seperti reinforcement, efek dari punishment juga dinilai tidak permanen. Menurut Woolfolk (1993), para siswa yang menerima hukuman akan bertingkah laku baik saat diawasi guru mereka saja, saat guru tidak memperhatikan mereka tingkah laku yang ingin dihilangkan guru tetap muncul. Contohnya adalah perilaku mencontek pada siswa. Saat guru sedang memperhatikan siswa, kira-kira apakah siswa tersebut akan tidak peduli dan tetap mencontek? Tentu saja tidak. Siswa tidak akan berani mencontek  karena takut diberi nilai nol sebagai punishment dari perbuatan mencontek. Namun saat guru sedang lengah atau sedang memperhatikan, ternyata kegiatan contek-mencontek berjalan dengan lancar. Ini berarti guru berpikir bahwa ia telah menurunkan atau bahkan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan pada siswa, namun pada kenyataannya perilaku itu masih terjadi.
Secara singkat, reinforcement dan punishment sama-sama dapat meningkatkan motivasi belajar dan mengkondisikan perilaku baik pada siswa. Kontras dengan kemampuan reinforcement dan punisment dalam meningkatkan motivasi belajar dan mengkondisikan perilaku baik pada siswa, reinforcement dan punishment juga memiliki efek-efek negatif. Reinforcement sering dipandang sebagai “menyogok” siswa, efeknya tidak tahan lama, dan dapat menurunkan keinginan siswa untuk mengerjakan tugas yang menantang. Punishment membuat siswa menghindari dan bahkan membenci hal-hal yang berhubungan dengan hukuman yang ia terima, menjadi kebal terhadap hukuman, membolos dan bahkan drop out, tidak berani mengeluarkan pendapat, belajar menyelesaikan masalah dengan menghukum, serta seperti reinforcement, efeknya tidak permanen. Bisa kita lihat bahwa punishment menimbulkan efek yang jauh lebih negatif dibandingkan dengan reinforcement. Oleh karena itu, setelah mempertimbangkan efek-efek yang dihasilkan oleh reinforcement dan punishment, penulis berkesimpulan bahwa asumsi penulis benar. Reinforcement lebih baik untuk digunakan dalam meningkatkan motivasi belajar dan mengkondisikan tingkah laku yang baik pada siswa dibandingkan dengan punishment. 


Referensi
Axelrod, S. (1983). Behavior Modification for the Classroom Teacher. 2nd Edition. New York: McGraw-Hill Book Co
Buckley, N. K., Walker , H.M. (1972). Modifying Class Behavior: A Manual of Procedure for Classroom Teachers. Illinois: Research Press Company.
King, Viney, & Woody. (2009). A History of Psychology: Ideas and Context. 4th ed. Massachuetts: Pearson.
Pintrich, P.R., Schunk, D.H. (1996). Motivation in Education: Theory, Research, and Application. 4th ed. New Jersey: Prentice-Hall.
Presley,M., McCormick, C.B. (2007). Child and Adolescent Development for Educators. New York: The Guilford Press.
Stipek, D. (2002). Motivation to Learn: IntegratingTheory and Practice.  4th ed. Massachuetts: Allyn and Bacon.
Woolfolk, A.E. (1993). Educational Psychology. 5th ed. Massachuetts: Allyn and Bacon.




3 komentar:

Anissa Febrina mengatakan...

mamer deh pernah sekoLah di Luar! hahaha, damai. keren qy

the speakerbird mengatakan...

kagaaa gw udh bingung mau nulis apaa lg 1500 kata hiks

Muhammad Amirullah mengatakan...

mantap kwand, terima kasih karena postingan anda sangat bermanfaat untuk tugas saya!!!

www.anakpapamama.wordpress.com

Posting Komentar